Mengenai penginapan di Bukittinggi, banyak pilihan hotel yang bisa dipilih. Paling tidak ada 3 hotel terbaik yang bisa jadi referensi kalau anda berkunjung ke sana. Pertama adalah Hotel Royal Denai, dengan rate yang paling murah, kemudian Hotel Pusako dengan interior hotel yang cukup indah, dan yang terbaik adalah Hotel The Hills yang dulunya merupakan jaringan dalam Novotel Hotel. The Hills terletak di pusat kota, dan di sekitar Jam Gadang. Selain lokasinya sangat strategis, bangunan hotel didesain sangat menarik ditambah dengan posisi lokasinya yang seperti berada di atas bukit. Sehingga dari jalan raya melihat ke arah hotel seperti menyaksikan kastil yang berdiri di tengah kota.
Masuk ke dalam lobi The Hills, nampak ruangan luas yang berlangit-langit tinggi langsung ke atap hotel yang berlantai 4 ini. Air mancur di tengah ruangan terus mengalir menggemakan gemericik air menemani beberapa orang yang sedang mengakses wifi di ruangan tersebut. Di sisi kiri ada ruangan restoran yang langsung menghadap ke taman hijau luas di samping hotel. Interior hotel yang apik ini dipercantik dengan latar belakang pegunungan dan pebukitan di jendela belakang hotel. Saya sama sekali bukan marketing The Hills, tapi saya rekomendasikan hotel ini! 🙂
Dari lokasi hotel ini dapat berjalan kaki menuju Pasar Atas dan Pasar Bawah yang menjual berbagai macam makanan khas Bukittinggi. Beberapa souvenir kecil seperti miniatur jam gadang atau rumah gonjong khas Minangkabau juga dijajakan di sini. Ada juga kopi ‘Bukit Api’, yang menurut seorang teman yang menghabiskan masa kecil di Bukittinggi, memiliki rasa yang berbeda dibandingkan kopi merek lain.
Pada akhirnya tiba saatnya untuk meninggalkan kota Bukittinggi dan menuju kembali ke Padang dan Bandara Minangkabau.
Pilihan jalan ke Padang
1. Melalui Batusangkar. Sekitar satu jam perjalanan dari Bukittinggi melalui jalan alternatif. Di kota ini terdapat Istana Pagaruyung yang begitu megah dan besar. Di belakang kompleks istana ini tergambar pegunungan hijau yang menghampar dari kiri ke kanan, menjadi bumbu keindahan yang sempurna. Tapi sayangnya istana ini sempat terbakar habis, dan sekarang sedang dalam proses pembangunan kembali.
Kalau dulunya mungkin rangka atap istana ini menggunakan kayu, sekarang sudah menggunakan rangka atap baja ringan. Tidak kalah dengan rumah-rumah modern sekarang ini!
2. Ke Padang dapat melalui tepian Danau Singkarak. Sekitar 2 jam dari Bukittinggi, pemandangan indah danau terbesar di Sumatera Barat ini mulai dapat dinikmati. Seperti juga menuju Danau Maninjau melalui Kelok 44, perjalanan ke Danau Singkarak juga melewati sepotong jalan di atas bukit dengan pemandangan luar biasa berupa hamparan Danau Singkarak di bawah. Mengambil salah satu titik perhentian di sini akan menampilkan Danau Singkarak yang luas itu secara utuh, dan menyaksikan bagaimana airnya yang berkilauan memantulkan cahaya matahari. Ah, cantik nian…
Sampai di bawah bertemu dengan jalan raya di tepian danau, saya sempat berhenti sebentar di Tanjung Mutiara. Ini adalah salah satu tepi danau yang agaknya sering menjadi tempat pemberhentian menikmati danau dari dekat. Dinaungi jejeran pohon kelapa yang rindang dan terdapat beberapa gazebo di sana. Sayangnya saya tidak sempat menemukan tempat masuk yang resmi ke danau yang resmi seperti gerbang ke Danau Maninjau yang lalu.
Beranjak dari area Danau Singkarak perjalanan dilanjutkan ke Padang melalui kota Padang Panjang. Walaupun kota kecil, tapi di sini ada tiga lokasi menarik yang pantang untuk dilewatkan.
Pertama adalah Mifan Water Park. Walaupun fasilitasnya kalah jauh dengan tempat rekreasi serupa di Jakarta, tapi dengan anugerah pemandangan di latar belakang kompleks yang indah, menjadi daya tarik sendiri untuk sekedar melepas lelah.
Tak jauh di area ini terdapat lokasi kedua, Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau. Di sini bisa disaksikan satu rumah adat Gonjong khas Minangkabau yang memiliki detail fisik yang njelimet. Di dalamnya juga terdapat beberapa informasi mengenai budaya Minangkabau yang dijaga oleh beberapa pegawai pemerintahan.
Sangat disarankan untuk berpose dan mengambil foto di depan rumah adat ini!
Dan yang ketiga yang tidak boleh dilewatkan adalah ‘Sate Padang Mak Syukur’, tepat di kanan jalan raya Padang Panjang 🙂
Promosi dari banyak pihak untuk mencicipi sate di sini membuat saya harus mampir ke tempat ini. Ruangan di dalam rumah makan ini cukup luas dan dapat menampung lebih dari 10 meja besar. Berbeda dengan rumah makan sate padang biasanya yang mencampur sate dan lontong, plus kuah tepung berasnya yang kental, ke dalam satu piring, di sini lontong dan sate dipisah. Lontong plus kuah disajikan per porsi sedangkan sate terpisah dalam piring tersendiri.
Jadi potongan daging sapi ini cukup pede untuk muncul sendiri tanpa kuah khas yang menyertainya, dengan bakaran yang ringan tanpa membuat gosong. Potongan dagingnya besar dan lunak, tidak melawan sama sekali saat dikunyah. Memakan sate ini tanpa dibaluri kuah inilah yang bagi saya menjadi letak keunggulan Sate Mak Syukur, karena terkadang kuah kental ini jadi mengaburkan rasa daging sapi yang lezat. Hmmm…
Seperti layaknya rumah makan Padang, di sinipun pembayarannya menggunakan sistem : ‘bayar apa yang dimakan’. Jadinya total tusuk sate yang kita makanlah yang kita bayar, bukan berapa porsi sate yang kita pesan. Cocoklah…
***
Ah, rasanya berhari-hari di Sumatera Barat masih belum memuaskan untuk menjelajahi seluruh tempat menarik di sana. Saya masih belum sempat ke Danau Atas dan Danau Bawah, ke Benteng Fort de Kock di Bukittinggi, Pantai Malin Kundang, atau Gunung Siti Nurbaya.
Pantas saja Uda Midun dan Uni Halimah bisa betah tinggal di daerah ini…
Sebelumnya : [Bukittinggi 1] Danau Maninjau dan kota Bukittinggi,
[Bukittinggi 2] Menjelajah Kota Bukittinggi,
[Bukittinggi 3] Jejak Bung Hatta
Sayang ya istana Pagaruyungnya lagi di pugar, dulu sempet masuk waktu belum kebakaran.
Di danau singkarak ada ikan yang rasanya enak loh, udah nyoba belum?
Kalo Sate Mat Syukur menurut saya kurang pas dilidah, lebih enak Sate Padang Pariaman.
nah, ini nih yang kayaknya lama tinggal di padang.. lebih paham 🙂
klo ikan di danau, ikan bilih itu bukan? kemaren bawa 2 bungkus, sampe sekarang masih blm di apa-apain, sayang mau dimakan 🙂
iya, sebenernya kuah di mak syukur terlalu spicy, rasa pedas mericanya terlalu kuat.. makanya lebih enak makan satenya tanpa kuah, murni daging…
[…] disajikan terpisah dengan sausnya. Saya jadi teringat dengan penyajian Sate Padang Mak Syukur di Padang Panjang yang juga memisahkan antara olahan sate dengan sausnya. Sate ayam yang disajikan terpisah ini […]